Rabu, 19 Oktober 2011

“Indah”nya Menjadi Anak Bungsu

dalam sebuah percakapan:
A : “Kamu anak keberapa dalam keluarga?”
B : “anak ke-3, anak bungsu.”
A : “Waaahh… senang donk… pasti dimajan banget yah.”
familiar dengan potongan dialok diatas? yah tentunya. Pasti ada yang pernah mengalami menjadi Si A dan ada juga yang menjadi Si B atau menjadi pihak ketiga yang mendengarkan perbincangan tersebut.
Namun, apakah benar bahwa menjadi anak bungsu selalu seindah itu? mengapa image seorang anak bungsu yg diingat oleh orang-orang hanya “dimanja”nya saja? dan yang lebih mendasar lagi pertanyaannya adalah, bagaimana kisahnya hingga bisa seorang anak bungsu mendapatkan cap sebagai anak yang paling dimanja? well, gw bukan ahli/pengamat kehidupan sosial dan keluarga, tapi sebagai seorang anak bungsu dan mempunya beberapa orang teman yang juga anak bunsu, paling tidak gw bisa menemukan jawabannya.
Seorang anak bungsu adalah anak terakhir dalam sebuah hirarki keluarga. alasan dia bisa menjadi sangat dimanjapun bisa bermacam-macam. bisa karena dia adalah seorag laki-laki, yang oleh beberapa keluarga tertentu masih memegang teguh bahwa anak laki-laki adalah penerus garis keturunan dan marga, atau juga bisa karena jrak yang cukup jauh dengan yang sebelumnya sehingga dia semacam menjadi penghibur bagi kedua orang tuanya.
Selain itu, kalau ditinjau dari sisi ekonomi keluarga, bisa jadi karena seiring dengan perkembangan ekonomi keluarga yang memaik, akhirnya si anak bungsu lah yang bisa menikmati berbagai fasilitas yang lebih baik dari kakak-kakak nya. yang dulu nya mainan seadanya, sekarang dengan kondisi ekonomi yang lebih baik, si anak bungsu bisa menikmati mainan yang jauh lebih banyak dan mahal harganya.
Namun, selain semua alasan yang bersifat fisikal tersebut, ada hal lain yang menjadi alasan dan mungkin tidak secara nyata disadari oleh para orang tua. alasan itu adalah anak bungsu merupakan anak tumpuan harapan terakhir dalam kelurga yang bisa memebrikan dan/atau melengkapi atau bahkan memperbaiki citra orang tua dan keseluruhan keluarga inti (ayah, ibu, anak) di dalam keluarga besar dan lingkungan masyarakat sekitar. keinginan untuk bisa membentuk si bungsu untuk bisa tumbuh dan berkembang menjadi anak yang melengkapi harapan mereka tersebut terkadang membawa orang tua menjadi berlebihan dalam memberikan fasilitas kepada si bungsu.
Tapi perlu diingat juga, tidak semua anak bungsu mendapatkan hal tersebut. Tidak jarang jug anak bungsu yang tidak sepenuhnya dimanja seperti itu tapi tetap berada pada posisi sebagai tupuan harapan terakhir. Ini bisa terjadi kalau teryata mungkin ada kakak nya yg memang membutuhkan perhatian lebih atau memang karena kondisi keluarga yang tidak harmonis. masih banyak alasan lainnya.
yang perlu kita ingat disini adalah seperti apapun dimanjanya si bungsu, dia akan tetap menjadi harapan terakhir dalam keluarga. hal ini bisa memberikan taraf stress yang cukup tinggi bagi si bungsu. Tapi mungkin tidak semua anak bungsu juga menyadari akan peranan nya ini tetapi tetap mendapatkan tekanan atas peran nya tersebut. pada akhirnya, si bungsu yang dimanja tumbuh menjadi anak yang arogan dan tidak perduli. semakin dia bertumbuh besar dan mendapatkan tekanan dari lingkungannya untuk harus bisa menjadi “penutup yang indah” bagi keluarganya, semakin dia menyangkal dan lari dari perannya itu yang akhirnya membawa nya ke jalan yang malah bertolak belakang dengan harapan yang ada.
Coba deh kita lihat dari beberapa sisi berikut:
1. kakak sukses, si bungsu masa gak?
Mempunyai seorang kakak yang sukses, sebenarnya sangat membanggakan. si bungsu bisa mempunyai panutan dan role model dalam menjalankan hidupnya. Tapi, stiap individu pasti tidak ingin hanya sekedar menjadi “bayangan”. tantangan bagi si bungsu, yang sering menjadi hal yang ingin lingkungan lihat, bagaimana si bungsu menjadi “penutup yang sempurna” dengan juga menjadi seorang yang suksesnya setara atau lebih dari sang kakak. Apakah itu gampang? ternyata tidak loh. bersaing dengan seorang kakak jauh brlipat-lipat lebih berat karena kita tidak boleh menyakiti hati sang kakak, tidak boleh terang-terangan memperlihatkan sikap kompetitif, tidak boleh membuat kesan bahwa kita juga jauh lebih baik dari sang kakak. Mengapa begitu? simple jawabanna, karena dia adalah kakak kita, orang yang berasal dari rahim yang sama dan darah daging dari ayah dan ibu yang sama…
2. kakak tidak sukses, masa si bungsu juga?
semakin berat lagi nih peran si bungsu di kondisi ini. kalau dia juga gagal, maka cap orang tua yng buruk akan melekat ke orang tuanya. tapi kalau dia sukses, bukan berarti semua masalah selesai! lingkungan akan secara sadar atau tidak akan mengamati apakah si bungsu bisa membantu sang kakak? kalau tidak bisa maka si bungsu pun akan dianggap anak yang lupa terhadap keluarganya. Belum lagi ada ego dari sang kakak sebagai yang lebih tua, yang lebih tau segala hal, yang malah memperburuk situasi. mempertahankan kondisi yang baik untuk diri sendiri saja terkadang beratnya bukan main, apa lagi kalau harus ikut menopang seluruh keluarga?
dan masih banyak lagi situsi dan kondisi lainnya.
So, sebenarnya menjadi anak bungsu bukan hanya sekedar dimanja nya saja, yang sering kali dipandang secara negatif olh kebanyakan orang, tapi lebih dari itu, ada banyak juga tantangan dan tekanan yang diterima oleh si bungsu.
well,paling tidak itu adalah pandangan gw. tentunya sebagai anak sulung atau anak tengah, merekajuga punya tekanan masing-masing. Tapi gw tidak dalam kapasitas yang mengrti begitu dalam tentang mereka. buat anak-anak bungsu, lekaslah bangun dari mimpi-mimpi kemanjaan mu dan mulailah menyadari akan peranan yang ada dan mengolah antara kemajaan dan peranan kita secara baik dan benar.
cheers,